Para pemikir eksistensialis yang menolak yang transenden dan mengagungkan imanensi, seperti Karl Marx, Nietzche, Michel Foucault dan sebagainya sebenarnya tidak dapat berkata apa-apa kepada individu yang mengalami penderitaan pribadi atau sedang mengalami krisis hidup. Sebagaimana Marxisme sebagai agama sekuler pertama di dunia yang menganjurkan agar manusia bersabar dan merasa gembira, karena pada akhirnya semua manusia akan mendapat kebahagiaan besar dan mendorong agar membantu perjuangan untuk itu.
Ya, para eksistensialis itu tidak dapat berkata apa-apa tentang tragedi dan penderitaan pribadi, seperti yang dialami oleh Minah, perempuan penduduk negara Republik Indonesia. Sebuah negeri yang mansyhur akan kekayaan alam nan eksotik, gemah ripah loh jinawi.
Minah sudah tua. Ia hanya petani kecil yang lelah dan sepi. Ia dihadapkan ke sidang pengadilan karena mencuri 3 buah cokelat yang sudah ranum milik sebuah perusahaan perkebunan besar yang terletak disebelah tempat tinggalnya pada November 2009 lalu. Minah dijatuhi hukuman berdasarkan pasal 362 KUHP yaitu vonis kurungan 1 bulan 15 hari.
Putusan hukuman itu menjadi ironis karena semakin membuktikan sangat kuatnya hukum di negeri ini bagi orang-orang yang miskin dan tidak berdaya, yang tidak mempunyai kekuasaan. Sementara lemah terhadap kasus koruptor besar yang telah sangat merugikan rakyat dan Negara. Manakala Muslih Bambang, SH hakim ketua di Pengadilan Tinggi (PN) Purwekorto Jateng menangis bercucuran air mata, sementara tangannya dengan berat dan gemetar terpaksa mengetuk palu menjatuhkan vonis kepada Minah dan fenomena yang sangat menarik terjadi setelahnya : Nenek renta itu bangkit menghampiri sang hakim menyalaminya, seraya berucap tulus sembari tersenyum “Maturnuwun, Pak hakim.”
Berbagai komentar bermunculan tentang kenapa Ia tersenyum bahkan berterimakasih. Sebagian mengatakan itu terjadi karena Nenek Minah tidak paham, tidak pernah bersekolah, buta huruf, lugu, buta hukum, buta hak, bahkan buta bahasa sehingga tidak mengerti ketidakadilan yang tengah menimpa dirinya.
Tapi tidak demikian Saya melihatnya.
Tidak ada yang lebih mengerti dari Minah sendiri, bagaimana rasanya hidup di tanah yang kaya bagai surga, namun tidak pernah dapat cukup mencicipi manis hasil tanah air nya. Tidak ada yang lebih mengerti dari Minah sendiri bagaimana pahitnya menjadi petani buruh di lahan luas yang dikuasai oleh perusahaan besar. Tidak ada yang lebih mengerti dari Minah sendiri sulitnya hidup sebagai petani di negeri ini dimana tanahnya luas dan subur namun kesejahteraan petaninya terabaikan akibat ketidakjelasan arah pengembangan teknologi dan tidak konsistennya kebijakan pertanian. Tidak ada yang lebih mengerti dari Minah sendiri, bagaimana pedihnya bertahan hidup di negeri ini , agar tidak menjadi seperti ayam yang mati di lumbung padi.
Minah tidak bodoh, Ia tidak buta hak, Ia mengerti bahwa dirinya hidup dalam keterasingan diantara gegap gempita dan gemerlap kapitalisme yang melanda negerinya. Ia mengerti bahwa dirinya hidup disebuah tempat dimana hukum senantiasa berpihak kepada pemilik modal. Ia mengerti, namun Ia tetap tersenyum.
Bagaimanapun, sejarah manusia telah cukup bercerita akan fakta betapa manusia membutuhkan sesuatu yang transenden. Dalam kehidupan bernegara, Ketika keadilan dan kesejahteraan yang kerap dijanjikan elit penguasa terhadap rakyat kecil pada saat kampanye politik tidak juga terwujud ; Ketika kerja keras dan pengorbanan rakyat kecil tak kunjung memperoleh imbalan ; Ketika sistem dan kebijakan pembangunan tetap eksploitatif dan menekan kaum marginal ; Ketika pemerintahan semakin koruptif, sewenang-wenang, kesenjangan semakin lebar dan tatanan masyarakat yang adil belum juga tercapai kecuali nanti dan nanti ; Maka keadaan seperti inilah yang menyebabkan sakit dan pedih dihati manusia yang dunia tidak akan mampu mengobatinya. Pada kepedihan inilah Tuhan tidak tega. Dunia tidak akan mampu memikul beban individu yang sedemikian berat sebagaimana yang ditanggung oleh Minah. Ada sesuatu yang transenden dalam diri Minah. Itulah yang membuatnya tetap tersenyum.
Ya, Itulah kenapa dia tersenyum.
Bogor. 2010
minah..kasihan ya…
siapa yang salah
kenapa yang seharusnya kita nikmati justru diambil orang lain
mencurikah mereka
atau kita yang tidak mampu mengambilnya
Setelah baca-baca, saya izin masang linknya di blog saya ya 🙂
Biar tambah banyak sahabat 🙂
sure, thanks. saya masih baru disini jd belum ngerti. 🙂
minah hanya salah satu kisah yang di alami di Indonesia,—bahkan tergolong mendapat perhatian kita dan media elektronik. Kita bisa jadi juga akan sangat bersedih bila membaca buku “Aceh Bersimbah Darah”,–karangan Al-Chaidar. yang mengetengahkan tindakan brutal aparat keamanan Indonesia selama peride tahun 1980-1990-an. buku tersebut mencatat bukti dan kisah pilu orang-orang yang dituduh GPK,—sebutan orde baru untuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
sepenggal kisah yang saya ingat di dalam buku tersebut misalnya “ada seorang perempuan tua yang dimasukkan botol sejenis sprite kedalam kemaluannya, dengan alasan dia membantu GPK” dan banyak lagi kisah kebrutalan negara di Buku itu, yang lengkap dengan saksi-saksi, tapi sampai sekarang belum diproses secara hukum..
sedih memang, tapi itulah negeri ini.
saya membacanya tulisan anda di blog tapi tidak bisa meninggalkan komen disana.. tentang kenangan masa kecil. terasa atmosfer yang mencekam..
ya, kami yang di jawa tidak pernah benar2 tahu bagaimana rasanya hidup di aceh pada jaman itu..
tapi itulah tanah air.. ikatan batin yang tak pernah bisa putus.
Senyum itu membuat wajah lbh awet muda, dan juga senyum merupakan ibadah.. mksh dah dingt tuk selalu trsenyum, apa kbr mb??
Saya selalu sedih dan terenyuh melihat foto Nenek Minah ini. Ya Allah, betapa tega koorporate itu.
yup.. begitulah. 😦