“Semua yang terjadi di dunia dimaksudkan untuk tujuannya yang terbaik.”
Penulis mengutip sebuah frase yang terdapat dalam satire berjudul ‘”Candide” karya Voltaire. Saat Candide, lelaki lugu dan baik hati yang menjadi tokoh utama dalam karya tersebut, merasa resah dan bertanya pada gurunya akan hakikat nasib sial yang terus menerus menimpanya.
“Tentu saja ada rangkaian peristiwa dalam dunia yang terbaik ini. Pertimbangkan saja, seandainya kau tidak ditendang keluar dari kastel indah itu karena mencintai nona Cunegonde, seandainya saja kau tidak dihukum oleh inkuisisi, seandainya kau tidak melakukan perjalanan sepanjang Amerika berjalan kaki, seandainya kau tidak menusuk Baron, seandainya kau tidak kehilangan dombamu yang kau peroleh di negeri impian El- Dorado – maka kau tidak akan berada disini sekarang, makan manisan sitrun dan kacang pistachio.” Begitu Sang Guru dr. Pangloss, seringkali berkata pada Candide.
Voltaire (1694 –1778) bernama asli Francois Marie Arouet adalah filsuf Perancis yang sangat brilian pada abad ke-18. Melalui ‘Candide”, Ia menggugat Filosofi Optimisme (terhadap kehendak Tuhan) yang mengatakan bahwa semua bencana dan penderitaan manusia adalah bagian dari rencana kosmis yang baik hati.
Filosofi Optimisme yang digugat Voltaire, melalui satire-nya itu, merupakan perkara filsafati yang tidak pernah selesai diperdebatkan dalam sejarah umat manusia yaitu mengenai hakikat kehendak Tuhan terhadap mahluknya. Dalam khasanah Ilmu Kalam di dunia Islam, konsep tersebut telah dikenal sejak lama dalam berbagai bentuk paham teologi Dialektika. Diantaranya konsep “Al – Shalah Wa`l Aslah”, salah satu hasil pemikiran kaum Mu`tazilah (qadariyyah) yang menyatakan bahwa “ Semua perbuatan Tuhan, tidak lepas dari manfaat dan kemaslahatan. Tuhan tidak menghendaki sesuatu kecuali bermanfaat bagi manusia, bahkan Ia mesti menghendaki yang baik dan terbaik untuk kemaslahatan manusia.”
Abu al-Hasan ‘Ali Al-Asy’ari (873 M-935 M) merumuskan pemahamannya sendiri mengenai hakikat kehendak Tuhan : bahwa tidak ada kebaikan atau keburukan di bumi kecuali yang dikehendaki Allah, dan segala sesuatu terjadi dengan kehendak Allah (Q., 81:29), Manusia harus berusaha namun mereka tidak memiliki pada diri mereka sendiri (memberi) manfaat atau madarat, kecuali dengan yang dikehendaki Tuhan. Al-Asy’ari, seperti Mu’tazilah, meyakini bahwa Tuhan adalah Maha Adil. Tetapi seperti kaum Salafi, ia menolak mewajibkan Tuhan untuk mewujudkan yang terbaik. Dan masih banyak lagi konsep-konsep mengenai hakikat keadilan yang mencerminkan hubungan antara Tuhan dan manusia dalam Teologi Dialektika, termasuk pemikiran para pembaharu seperi Ibnu Taymiyyah dari mazhab Salafi atau Muhammad Abduh, namun terlepas dari sengitnya perdebatan internal antara berbagai paham tersebut, seluruhnya sudah barang tentu tetap merupakan refleksi atas keyakinan dan kepasrahan terhadap kekuatan yang transenden dan Maha Adil. Sebagaimana dikatakan Ibn Taymiyah, “Pangkal agama adalah Al-Islam (sikap pasrah), meskipun syari`atnya bermacam-macam.”
Relevansinya ialah bahwa sebagian besar warga negara Indonesia beragama Islam dan menganut paham Asy’ari di bidang teologi. Kita seringkali mendengar dalam setiap percakapan masyarakat di Indonesia manakala seorang tertimpa musibah berbagai ungkapan yang menandakan penerimaan seperti:
“Tuhan Maha Tahu yang Terbaik bagi Hambanya.”
“Segala sesuatu diciptakan ada tujuannya, setiap kejadian pasti ada hikmahnya.”
“Segala sesuatu berasal dari Tuhan dan Kembali pada Tuhan.”
“Ini merupakan Takdir yang harus diterima.”
Ketika seorang terkena kecelakaan lalu lintas dan kehilangan kedua kakinya , maka Ia masih bisa bersyukur karena masih memiliki tangannya ; ketika seorang kehilangan seluruh hartanya, maka Ia masih bisa bersyukur karena tidak kehilangan nyawanya. Ketika seorang dieksploitasi dan dikorupsi hak-nya oleh pihak lain , maka Ia masih bisa bersyukur bahwa memang sudah sebegitulah takaran rezekinya. Dan ketika seorang tertimpa bencana alam yang merenggut keluarganya, melenyapkan harta dan menghancurkan tempat tinggalnya, maka Ia masih bisa bersyukur dirinya masih bisa selamat dan menerimanya sebagai kehendak Tuhan.
Para penganut agama – dalam hal ini Islam – selalu mempunyai kemampuan untuk lebih sabar dan mengambil kebaikan (hikmah) dari suatu keadaan yang paling buruk sekalipun yang menimpanya.
Lalu apakah yang salah dengan pemahaman yang disebut Voltaire sebagai Filosofi Optimisme (terhadap kehendak Tuhan) ini, sehingga Ia mengkritik dan memperoloknya habis-habisan melalui karya satire –nya yang berjudul “Candide”?
Sikap sabar dan pasrah kehadirat Tuhan merupakan ciri umat beragama. Tidak ada agama tanpa sikap pasrah. Namun demikian, dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat dimana kerap terjadi praktik – praktik ketidakadilan terhadap kaum marginal yang berlangsung secara terus menerus, kesabaran lebih banyak disalahartikan dan direduksi maknanya menjadi kesabaran untuk menerima keadaan dan bukan kesabaran dalam berjuang melakukan perbaikan sistem psiko – sosio – ekonomi yang lebih adil.
Ketundukan pada Kehendak Tuhan lebih banyak diartikan sebagai penyerahan diri secara pasif kepada kemauan Tuhan. Kondisi tidak adil yang sulit dirubah, membuat individu frustasi dan menjadi fatalis. Sikap inilah yang melanggengkan status quo dan menjadikan umat kehilangan atau lemah daya kritisnya terhadap praktik-praktik ketidakadilan yang dilakukan oleh negara.
Padahal jika ketundukan pada kehendak Tuhan diartikan secara pasif, Tuhan tidak akan memerintahkan manusia untuk berbuat kebaikan dan mencegah dari perbuatan tercela, Tuhan tidak akan memerintahkan manusia untuk bertindak adil dan memerangi kezaliman, dan jika Tuhan memaksakan kehendak-Nya pada manusia, maka konsep pahala dan dosa tidaklah berlaku.
Keyakinan, kepasrahan, optimisme dan kesabaran merupakan hal yang fundamental dalam dakwah Islam. “Allah mencintai orang-orang yang sabar.” Kata Al-Qur`an. Namun kesabaran ini jangan disalahartikan sebagai kesabaran dan kepasrahan untuk menerima keadaan secara pasif, melainkan kesabaran dalam upaya melakukan perbaikan untuk menciptakan suatu tatanan masyarakat yang berkeadilan, disertai optimisme bahwa Tuhan kelak akan berkehendak mewujudkannya setelah upaya dan perjuangan manusia baik secara individu maupun kolektif yang sungguh-sungguh.
Kita tidak dapat menutup mata terhadap sederet fakta permasalahan yang tengah melanda negeri yang sejatinya kaya akan Sumber Daya Alam ini : berbagai kasus korupsi, ketidakadilan hukum, mafia peradilan, illegal logging, penggelapan pajak, sempitnya lapangan pekerjaan, kemiskinan, minimnya layanan kesehatan, tingginya tingkat kematian ibu dan bayi, gizi buruk, rendahnya kualitas pendidikan, kerusuhan dan konflik sosial, dan seterusnya. Ditambah lagi dengan model kebijakan pembangunan yang eksploitatif tanpa kearifan ekologi, telah menyebabkan kerusakan lingkungan hidup seperti : kerusakan hutan, hancurnya wilayah tangkapan dan Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai sumber pemasok air bersih, pencemaran udara pada tingkat yang membahayakan, hancurnya wilayah pesisir, sehingga menyebabkan meningkatnya jumlah bencana ekologis seperti : banjir, longsor, gagal panen, gagal tanam, dan kebakaran hutan termasuk semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo.
Betapa dibutuhkan kesabaran seluas samudera untuk menghadapi berbagai fakta pahit tersebut. Struktur psiko – sosio – ekonomi yang bersifat tidak adil haruslah dikoreksi melalui upaya yang sungguh-sungguh.
Mereka yang memiliki Ilmu dan wewenang, dapat merubah kemungkaran dengan tangannya (tindakan) ; Mereka yang memiliki Ilmu tapi tidak memiliki wewenang dapat merubah kemungkaran dengan lisannya (wacana) ; Mereka yang tidak memiliki ilmu dan tidak pula memiliki wewenang dapat membenci kemungkaran dalam hati sambil tetap meningkatkan partisipasi politiknya.
Upaya inilah yang tidak mudah dan membutuhkan keyakinan, kesabaran dan optimisme yang luar biasa. Agama – dalam hal ini Islam – hadir untuk menyelamatkan, membela dan membebaskan manusia dari kondisi – kondisi ketidakadilan.
Ini dapat dilihat dari begitu banyak ayat Al-Qur`an yang memerintahkan manusia untuk berbuat adil dan menentang kezaliman. Begitu banyaknya ayat Al Qur`an yang secara langsung ataupun tidak langsung menggugat kondisi ketidakadilan yang terjadi ditengah masyarakat, bangsa dan negara.
Kesabaran dan optimisme yang menerima kondisi mapan itulah yang merupakan candu sebagaimana digugat oleh Voltaire melalui candide, sedangkan kesabaran dan optimisme dalam upaya menciptakan perubahan sosial akan menjadi kekuatan psikologis yang luar biasa dalam perjuangan mewujudkan tatanan masyarakat yang berkeadilan.
Voltaire menyadari hal-hal buruk yang ada di dunia, namun itu tidak menyebabkan Ia menampik hidup. Ia tidak putus asa, bunuh diri atau menjadi fatalis. Ia menggugat filosofi optimisme bahwa “Semua hal yang terjadi di dunia ini adalah untuk tujuan yang terbaik” namun gugatan itu juga tidak menyebabkannya menafikan yang transenden.
Voltaire percaya adanya Tuhan. Tapi Ia juga percaya pada usaha manusia untuk memperbaiki nasibnya sebagaimana dipertegasnya dalam novel Candide. Melalui Candide, Voltaire membuat kita tertawa geli, namun justru pada kalimat pendek terakhir yang menutup novel satire itu, Voltaire mengusulkan suatu jalan keluar yang sangat serius, sekaligus praktis dan membumi, yaitu saat super-optimis Dr. Pangloss berusaha meyakinkan Candide bahwa “Dunia ini adalah yang terbaik dari semua yang mungkin didapat” dan Candide pun menjawabnya : “Pemikiran yang bagus. Tapi Ayo, kita harus menggarap kebun ini.”
Hesty Dharmanita Wianggawati